Monday, July 22, 2013

Waktu saya antri tiket nonton biokop saya mendengar, perempuan dibelakangku memarahi anaknya. “Kamu jangan nakal! Mama kalo bilang nggak ya nggak! Saya berusaha mendengar apa yang menjadi kekesalan mamanya. Mamanya masih ngomel panjang lebar. Ternyata dia cuma ingin beli minum. Ketika aku melihat ke belakang. Anaknya itu perempuan usia sekitar 5 tahun dan kelihatan manis banget tidak ada tanda-tanda seorang anak yang bandel. Dengan mata berkaca kaca menahan tangis dia mendengarkan omelan mamanya. Mereka jelas nampak dari keluarga yang kaya. Dari cara berpakaian, Tas yang dipakai mamanya adalah tas merk, anaknya yang masih 5 tahun itu sudah membawa gadget cangih.
Pernah juga saya melihat seorang ibu yang memarahi anaknya dengan kata-kata yang kasar dan memukuli anaknya. Saya tidak tahu apa permasalahannya tapi yang aku tahu mereka sedang menuju ke pasar, anaknya berusia sekekitar 4 tahun. Kata-kata yang dikeluarkan dari mulut sang Ibu sungguh tidak enak didengar dan kasar sekali.  Saya tidak tahu itu karena faktor pendidikan atau kebiasaan.

Beberapa waktu yang lalu seorang ibu mau berkonsultasi dengan saya. Dia meminta anak laki-lakinya dihipnotis agar menjadi baik, rajin belajar dan tidak suka bohong alias jujur. Sang Ibu mengatakan nilai raport anaknya jeblok. Dan dia memarahi, mengomeli anaknya di depan saya. Yang mengatakan anaknya goblok, bandel, suka bo’ong, nggak pernah belajar dan semua sumpah serapah lainnya. Sang anak hanya tertunduk diam dan kelihatan tidak berdaya. Saya membayangkan di rumah pasti Mamanya kalau memarahi lebih dari yang saya lihat ketika bersama saya.

Mungkin kita sering mendengar, melihat bagaimana orang tua secara tidak sadar telah melakukan kekerasan terhadap anaknya. Dan mereka mengatakan itu adalah salah satu cara untuk mendidik anaknya agar menjadi anak yang baik. Mungkin karena para orang tua itu meniru atau mengalami bagaimana dia dulu juga di didik seperti itu. Dalam memarahi anak orang tua sering sekali menggunakan kata-kata yang menyerang pribadi anak bukan melihat apa kesalahan anak dan bagaimana meningkatkan kemampuan sang anak. Sering kali orang tua menggunakan kata-kata seperti : Anak Bodoh, nakal, bandel, liar, bego, dungu, bahkan menyamakan dengan binatang. Bahkan sang anak dituduh sebagai penyebab kesusahan orang tua.

Banyak orang tua yang  tidak tahu atau tidak mengerti bahwa pada usia 0-8 tahun adalah usia keemasan. Anak mengalami perkembangan yang dratis, mulai dari :

Pekembangan berpikir: anak mulai belajar mengenal bahasa. Menurut Hart & Risley mengatakan umur 2 tahun, anak-anak memproduksi rata-rata dari 338 ucapan yang dapat dimengerti dalam setiap jam, cakupan lebih luas adalah antara rentangan 42 sampai 672. 2 tahun lebih tua anak-anak dapat mengunakan kira-kira 134 kata-kata pada jam yang berbeda, dengan rentangan 18 untuk 286.

Membaca dan menulis merupakan bagian dari belajar bahasa. Untuk bisa membaca dan menulis, anak perlu mengenal beberapa kata dan beranjak memahami kalimat. Bayangkan kalau sejak kecil anak sering menerima kata-kata yang negatif. Anak kenalan saya berusia 4 tahun tidak sengaja mengekspresikan kekesalan kepada teman playgroup-nya kata makian karena dia biasa mendengar Ayahnya memaki Ibunya.

Perkembangan sosial dan emosional :  Pada masa play group dan TK anak mulai belejar mengenai hal-hal yang menyangkut soal emosi, berinteraksi dengan lingkungan sosial seperti kerjasama dengan teman sebayanya, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empat, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, perilaku kelekatan. Menurut Erik Erikson (1950) seorang ahli psikoanalisis mengidentifikasi perkembangan sosial anak: Tahap Basic Trust vs Mistrust (percaya vs curiga), usia 0-2 tahun. Dalam tahap ini bila dalam merespon rangsangan, anak mendapat pengalaman yang menyenangkan dan akan tumbuh rasa percaya diri, sebaliknya pengalaman yang kurang menyenangkan akan menimbulkan rasa curiga. Kalau anak didik dengan kekerasan, meskipun hanya verbal maka anak akan tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, penuh curiga, selalu takut. Kadang ketika anak sedang tidak mau makan, ada orang tua yang menakut-nakuti dengan Polisi, dokter, suntik atau lainnya.

Tahap  Autonomy vs Shame & Doubt (mandiri vs ragu), usia 2-3 tahun. Anak sudah mampu menguasai kegiatan meregang atau melemaskan seluruh otot-otot tubuhnya. Anak pada masa ini bila sudah merasa mampu menguasai anggota tubuhnya dapat meimbulkan rasa otonomi. Merasa bisa melakukan semua snediri. Ingin mencoba segala macam gerakan. Meloncat, berlari, lompat-lompat, guling-guling dan sebagainya. Pernah saya melihat seorang Ayah memarahi anaknya yang menjatuhkan kursi tempat duduknya ketika dia berdiri ingin melihat TV dan menyuruhnya untuk diam saja. Kadang orang tua merasa tidak sabar dan selalu meminta anak untuk diam. Bila lingkungan tidak memberi kepercayaan atau terlalu banyak melarang anak, maka anak akan timbulkan rasa malu dan ragu-ragu.

Tahap Initiative vs Guilt (berinisiatif vs bersalah), usia 4-5 tahun. Pada masa ini anak dapat menunjukkan sikap mulai lepas dari ikatan orang tua, anak dapat bergerak bebas dan berinteraksi  dengan lingkungannya. Kondisi lepas dari orang tua menimbulkan rasa untuk berinisiatif, sebaliknya dapat menimbulkan rasa bersalah. Ketika anak berinisitif membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah misalnya dan orang tua menganggap si anak justru membuat kotor atau menambahi pekerjaan orang tua sehingga anak merasa bersalah.

Tahap industry vs inferiority (percaya diri vs rasa rendah diri), usia 6 tahun – pubertas. Anak telah dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangan untuk menyiapkan diri memasuki masa dewasa. Perlu memiliki suatu keterampilan tertentu. Bila anak mampu menguasai suatu keterampilan tertentu dapat menimbulkan rasa berhasil, sebaliknya bila tidak menguasai, menimbulkan rasa rendah diri.

Orang tua sering kali menjadi pengkritik yang baik buat anaknya dan lupa memberikan pujian atau penghargaan. Mereka menganggap anak kalau sering dipuji akan jadi besar kepala dan sombong. Ketika nilainya jelek dia dimarahi habis-habisan. Tapi ketika nilainya bagus orang tua diam saja dan dianggap memang sudah seharusnya dan itu adalah tugas anak untuk belajar. Akhirnya anak akan tumbuh menjadi pengkritik juga, berpikiran negatif dan kurang bisa menghargai prestasi orang lain. Karena sering dikritik anak akan tumbuh menjadi anak yang peragu, takut salah dan tidak percaya diri.

Oleh karena itu berikanlah kebebasan anak untuk berkreasi, melatih kemampuannya, dengarkan pendapatnya dan bila mereka melakukan kesalahan tunjukan bagaimana caranya melakukan yang benar. Bila anda melarang anak melakukan sesuatu berikan alasan kenapa dia tidak boleh melakukan itu. Usahakan untuk selalu sabar dan penuh cinta dalam mendidik anak-anak. Tidak ada orang tua di dunia yang menginginkan anaknya penjadi pecundang atau gagal dalam hidupnya. Tapi mereka tidak sadar cara mendidik mereka bisa berdampak pada perkembangan anak, yang akhirnya anak yang mereka sayangi berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada akhirnya akan menjadi anakku sayang, anakku malang.

Tulisan ini pernah saya muat di Kompasiana : Silahkan Klik

0 comments:

Post a Comment