Beberapa hari ini berita penangkapan artis NM dan PR yang dikaitkan dengan
bisnis prostitusi memenuhi media online.
Semua media berfokus pada NM, mulai dari tarifnya yang puluhan juta dan
juga penekanan pada ketelanjangan saat digrebek. Tidak hanya itu Wakil Presiden,
Jusuf Kalla juga mengeluarkan pernyataan terkait dengan penangkapan NM. JK
menyatakan keberatan jika identitas pejabat yang menggunakan jasa NM diungkap.
Menurut JK itu tidak etis dan mencemarkan nama baik. Kenapa keberatan? Bukankah
seharusnya pengguna jasa atau pembeli juga harus diungkap?
Pernyataan yang disampaikan Wakil Preseiden menunjukan dan menggiring
masyarakat kita mempunyai pemikiran yang Hegemoni patriaki. Hegemoni, menurut
Antonio Gramci, adalah proses kepemimpinan moral, filosofis dan politis yang
diperoleh sebuah kelompok sosial hanya melalui persetujuan aktif dari
kelompok-kelompok sosial penting lainnya. Gramci menyebut hegemoni sebagai
saran kultural dan ideologi di mana kelompok-kelompok yang dominan dalam
masyarakat, termasuk kelas penguasa, melestarikan dominasi dengan mengamankan
‘persetujuan spontan’ kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelompok kelas
pekerja, melalui penciptaan negosiasi konsensus politik maupun ideologis yang
menyusup ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi.
Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hegemoni kesadaran
individu pada setiap warga masyarakat. Sehingga wacana yang diciptakan oleh
negara akhirnya dapat diterima oleh masyarakat sebagai akibat hegemoni itu.
Media massa berperan dalam proses hegemoni dan menjadi pelaku konstruksi sosial
dengan nilai-nilai patriaki di dalamnya. Padahal media seharusnya memiliki
fungsi pendidikan yang untuk mencerdaskan masyarakat. Tapi dalam prakteknya fungsi itu justru
disalah artikan. Media massa justru menjadi pelaku utama rekonstruksi
nilai-nilai patriarkis tersebut. Sehingga kemudian nilai-nilai patriarki
tersebut masih saja berkembang dan mengakar di dalam tubuh dan tatanan
kehidupan masyarakat dan negara kita.
Ada tiga faktor
yang menentukan konten media massa, yaitu
- Characteristic, personal backgrounds, and experiences: yang meliputi etnis, pendidikan, gender, dan orientasi seksual.
- Personal attitudes, values, and beliefs dari pekerja media massa terhadap fenomena yang dikemas dalam produk media massa. Ini meliputi misalnya sikap politik, orientasi keagamaan, nilai-nilai, dan kepercayaan yang dianut yang berkait dengan individualism, modernism, altruistic democracy, leadership, ethnocentrism.
- Professionalism roles and ethic
Seringkali kita jumpai awak media menulis berita mempunyai kecenderungan
yang memojokan perempuan dan menganggap perempuan sebagai objek semata. Seperti
dalam salah satu beritanya : “Kedua artis dan model itu
akhirnya datang ke tempat yang disepakati. Mereka datang bersama kedua
muncikari yang memastikan bahwa proses 'pengiriman' sampai ke pelanggan yang
tepat”
Tidak hanya itu aparat negara dalam hal ini polisi juga melakukan hal yang
sama dalam siaran persnya, yang diwakili Kasubdit III Direktorat
Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Kombes Pol Umar Fana "Dia sudah dalam keadaan siap dipakai,
(berhubungan intim), tetapi tidak sampai terjadi apa-apa." . Tidak ada lagi asas praduga tak bersalah, karena
polisi sudah membuat judgment, bahwa
NM sudah siap dipakai. Dan berita ini tentu menjadi makanan lezat buat
disajikan ke pembaca oleh media. Mereka tidak lagi perlu memikirkan untuk cover both side, tidak melecehkan, menggunakan kaidah bahasa yang baik dan benar
tidak menggunakan istilah yang merendahkan, apalagi berperspektif terhadap korban. Makin hot makin banyak yang klik dan makin
banyak yang klik tandanya akan banyak iklan yang masuk. Dan menjadi situs yang
paling populer.
Yanuo Hanazaki, menganggap pers perjuangan yang idealis di Indonesia telah mati. Sebagai gantinya, lahirlah pers bisnis yang lebih berwatak pragmatis dan oportunistik (Hanazaki, 1998:88). Menurut Ana Nadhya Abrar, wartawan Indonesia seharusnya lebih memiliki sensitifities gender dalam memahami masalah yang dihadapi perempuan. Citra perempuan dalam pandangan pers Indonesia masih rendah, karena kebijakan keredaksian yang ternyata terkalahkan oleh kebijakan pemasaran yaitu segmentasi, konstribusi iklan dan keinginan pembaca (Abrar,2004:164).
Media massa sebagai representasi simbolis dan nilai masyarakat telah membentuk
stereotype yang memarjinalkan perempuan. Perempuan cenderung direpresentasikan
di dalam teks sebagai pihak yang bersalah, marjinal dibandingkan laki-laki. Banyak suara-suara
dan pengalaman perempuan dibungkam oleh media. Di media
massa pula, perempuan lebih direpresentasikan sebagai obyek seksual laki-laki.
Pemberitaan media yang berkaitan dengan
perempuan lebih bersifat sensasional, memarjinalkan, dan mengkriminalkan (Eriyanto,
2001: 199).
Media massa sebagai entitas bisnis masih menganggap perempuan sebagai objek
yang akan mendatangkan keuntungan bagi kaum elit. Alih-alih mengedukasi
masyarakat, media massa justru tampil sebagai agen yang menyebarkan nilai-nilai
budaya patriarki demi meraup keuntungan di ceruk pasar yang didominasi
pemikiran patriarki.Media lebih banyak melirik pada orientasi bisnis semata.
Sehingga memanipulasi pesan-pesan hanya untuk kepentingan bisnis. Demi kepentingan
menaikan oplah atau rating pembaca media massa kerap mengabaikan pembentukan persepsi
dan stereotype terhadap perempuan dan hanya dijadikan komoditi ekonomi politik
media.
Terlepas NM itu benar atau tidak sebagai pekerja seks, setidaknya awak
media tidak melakukan pemberitaan yang cenderung menghakimi, memojokan dan
mengekspose seksualitas NM, baik berupa tulisan ataupun pemilihan foto yang
cenderung vulgar. Dan tidak melakukan pemberitaan yang menggiring pembaca
melakukan penghakiman sebelum persidangan.
Referensi :
Bungin, Burhan. 2015,
Konstruksi sosial media massa, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bungin, Burhan. 2011. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan
DiskursusTeknologi Komunikasi di Masyarakat , Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Artz,
L and Kamalipor, Tahya R. 2003. The
Globalization of Corporate Media Hegemoni. State University of New York
Press : New York.
Eriyanto. (2001).
Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, Analisis Wacana. LKiS. Yogyakarta
Hanazaki, Yasuo. (1998).
Pers Terjebak. Terjemahan oleh Danang Kukuh Wardoyo. Institut Studi
Arus Informasi. Jakarta
Abrar,Ana Nadhya, Jurnal
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Volume 7, No.3,
Maret 2004
0 comments:
Post a Comment