Baru-baru
ini saya berkunjung ke rumah teman saya di daerah elit di jakarta, rumahnya
begitu megah dan mewah dan sering digunakan untuk sinetron. Semua peralatan dan
perabotannya serba lux dan dari merk terkenal. Meskipun dia sudah menjadi kaya
raya tetapi sikapnya masih sederhana bicaranya ceplas-ceplos, pakaiannya pun
masih sederhana, katanya kalau yang nggak tahu dikira aku pembantunya.
Setelah
ngobrol agak lama dia bercerita bahwa suaminya telah berubah. Dia bercerita
kalau suaminya sekarang suka menggunakan obat-obatan, suka dugem bersama para
purel dan sering berbohong sama dia. Dia tahu semua perbuatan suaminya di luar
sebab banyak yang melaporkan padanya. Dulu dia sering bertengkar dengan
suaminya karena hal ini dan itu membuat dia sakit hati.
Sekarang
dia memilih sikap untuk masa bodoh dengan kelakuan suaminya. Yang penting semua
asset dan rekening atas nama dia sehingga kalau suatu waktu, dia mendengar
suaminya meninggal karena over dosis, dia masih punya segalanya, begitu ceritanya. Dia bercerita panjang lebar tentang kehidupan
dunia malam, tentang jenis obat-obatan, para happiest, orang-orang yang suka
seks bebas. Dia sendiri juga ditawari oleh teman-temannya itu untuk ikut
mecicipi tetapi yg dia ingat adalah anak perempuannya yang masih kecil-kecil
dan dia takut mempermalukan kedua orang tuanya. Dia tidak mau membalas
perbuatan suaminya, seperti teman-teman perempuannya yang membalas perbuatan
suaminya dengan berpesta pora. “Mending uangnya aku simpan untuk anak-anakku
besok” katanya.
Dia memang memilih sikap untuk tidak
memberontak atau melawan sikap suaminya. Katanya percuma otaknya sudah rusak
karena obat, kalau dia melawan dia yang akan rugi. Aku belajar dari temanku,
dia berusaha melawan suaminya dan memergoki suaminya bersama purel dan yang
terjadi justru dia yang dihajar suaminya, dan sekarang dia cerai dengan
suaminya, dan anaknya jadi nggak bener semua. Jadi aku memilih untuk diam dan
pura-pura menjadi istri yang tidak tahu apa-apa, begitu katanya. Sambil
diam-diam memantau perbuatan suaminya. Dia berusaha untuk tetap waras dan kuat demi
kedua puterinya.
Ketika saya
tanya, apakah kamu bahagia? Dia menjawab; “Bahagia atau tidak itu tergantung
kita kok, kalau kita mau bahagia ya kita akan bahagia. Ngapain susah-susah
mikirin orang yang nggak pernah mikirin kita. Mending aku enjoy aja, masih
banyak lho orang yang hidupnya lebih susah dari aku, sedangkan aku, aku tidak
kekurangan bahkan berlebihan jadi ya dinikmati aja” katanya dengan enteng.
Saya
sungguh salut dengan apa yang dilakukan. Meskipun dia kelihatan pasrah dan
nrimo, tetapi sebenarnya dia itu perempuan yang tangguh, kuat, dan cerdas. Dia
tahu caranya memenangkan pertandingan hidup. Dia tidak mau menyerah dengan
keadaan, dia tidak egois dengan membalas dendam. Dia memilih untuk melindungi
dan menjaga anak-anaknya. Saya jadi teringat cerita burung pelikan, yang
mencucuki badannya sendiri dan memberikan ke anak-anaknya ketika dia tidak
mendapatkan makanan.
Meskipun
apa yang dipilihnya mengganggu perasaan dan pikiran saya, yang cenderung
beraliran feminis, mengganggu sisi analisa intelektual saya tentang teori yang
ada, tetapi saya tetap harus menghargai pilihannya, pilihan seorang perempuan
dan berharap Dia bahagia.
0 comments:
Post a Comment