Wednesday, January 23, 2013


Baru-baru ini saya berkunjung ke rumah teman saya di daerah elit di jakarta, rumahnya begitu megah dan mewah dan sering digunakan untuk sinetron. Semua peralatan dan perabotannya serba lux dan dari merk terkenal. Meskipun dia sudah menjadi kaya raya tetapi sikapnya masih sederhana bicaranya ceplas-ceplos, pakaiannya pun masih sederhana, katanya kalau yang nggak tahu dikira aku pembantunya.
Setelah ngobrol agak lama dia bercerita bahwa suaminya telah berubah. Dia bercerita kalau suaminya sekarang suka menggunakan obat-obatan, suka dugem bersama para purel dan sering berbohong sama dia. Dia tahu semua perbuatan suaminya di luar sebab banyak yang melaporkan padanya. Dulu dia sering bertengkar dengan suaminya karena hal ini dan itu membuat dia sakit hati.
Sekarang dia memilih sikap untuk masa bodoh dengan kelakuan suaminya. Yang penting semua asset dan rekening atas nama dia sehingga kalau suatu waktu, dia mendengar suaminya meninggal karena over dosis, dia masih punya segalanya, begitu ceritanya.  Dia bercerita panjang lebar tentang kehidupan dunia malam, tentang jenis obat-obatan, para happiest, orang-orang yang suka seks bebas. Dia sendiri juga ditawari oleh teman-temannya itu untuk ikut mecicipi tetapi yg dia ingat adalah anak perempuannya yang masih kecil-kecil dan dia takut mempermalukan kedua orang tuanya. Dia tidak mau membalas perbuatan suaminya, seperti teman-teman perempuannya yang membalas perbuatan suaminya dengan berpesta pora. “Mending uangnya aku simpan untuk anak-anakku besok” katanya.

 Dia memang memilih sikap untuk tidak memberontak atau melawan sikap suaminya. Katanya percuma otaknya sudah rusak karena obat, kalau dia melawan dia yang akan rugi. Aku belajar dari temanku, dia berusaha melawan suaminya dan memergoki suaminya bersama purel dan yang terjadi justru dia yang dihajar suaminya, dan sekarang dia cerai dengan suaminya, dan anaknya jadi nggak bener semua. Jadi aku memilih untuk diam dan pura-pura menjadi istri yang tidak tahu apa-apa, begitu katanya. Sambil diam-diam memantau perbuatan suaminya. Dia berusaha untuk tetap waras dan kuat demi kedua puterinya.

Ketika saya tanya, apakah kamu bahagia? Dia menjawab; “Bahagia atau tidak itu tergantung kita kok, kalau kita mau bahagia ya kita akan bahagia. Ngapain susah-susah mikirin orang yang nggak pernah mikirin kita. Mending aku enjoy aja, masih banyak lho orang yang hidupnya lebih susah dari aku, sedangkan aku, aku tidak kekurangan bahkan berlebihan jadi ya dinikmati aja” katanya dengan enteng.

Saya sungguh salut dengan apa yang dilakukan. Meskipun dia kelihatan pasrah dan nrimo, tetapi sebenarnya dia itu perempuan yang tangguh, kuat, dan cerdas. Dia tahu caranya memenangkan pertandingan hidup. Dia tidak mau menyerah dengan keadaan, dia tidak egois dengan membalas dendam. Dia memilih untuk melindungi dan menjaga anak-anaknya. Saya jadi teringat cerita burung pelikan, yang mencucuki badannya sendiri dan memberikan ke anak-anaknya ketika dia tidak mendapatkan makanan.

Meskipun apa yang dipilihnya mengganggu perasaan dan pikiran saya, yang cenderung beraliran feminis, mengganggu sisi analisa intelektual saya tentang teori yang ada, tetapi saya tetap harus menghargai pilihannya, pilihan seorang perempuan dan berharap Dia bahagia. 

0 comments:

Post a Comment